"Kondisi tersebut berimbas terhadap mundurnya musim hujan. Biasanya awal musim hujan jatuh pada minggu pertama November. Namun tahun ini diperkirakan mundur sekitar minggu ke dua November hingga minggu pertama Desember," kata staf Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Indah Retno Wulan, Minggu (13/9).
"Hujan tersebut lebih dipengaruhi faktor topografi dimana kawasan utara merupakan daerah pegunungan," katanya.
Ia mengatakan, awal musim hujan dapat ditandai dengan menghitung curah hujan tiap kurun waktu sepuluh hari atau dasarian. Jika selama dua dasarian berturut-turut intensitas hujan lebih dari 50 milimeter, maka bisa disebut menjadi penanda masuknya musim hujan. Tapi jika angkanya kurang dari 50 milimeter, belum bisa dikategorikan awal hujan.
"Yang perlu diketahui adalah kemarau bukan berarti tidak ada hujan sama sekali. Tapi untuk menentukan mulainya musim hujan, ada metode penghitungan sendiri," katanya.
Indah mengatakan suhu di wilayah DIY saat ini masih tergolong normal untuk musim kemarau yakni di kisaran 32 hingga 33 derajat Celcius pada siang, dan 20-22 derajat Celcius pada malam hari.
Terkait mengenai informasi yang merebak di media tentang ajakan meletakkan ember berisi air dan garam di luar rumah untuk memicu kondensasi, dirinya menegaskan hal itu tidak benar. Bahkan air laut yang mengandung banyak garam tidak selalu menimbulkan awan hujan. Namun banyak faktor yang memengaruhi seperti suhu, tekanan udara, dan arah angin.
"Garam baru bisa memberikan pengaruh terhadap potensi hujan jika disemai di atmosfer. Tapi kalau cuma diletakkan di bawah, tidak ada efeknya," katanya.
references by skalanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar